Rasa malu yang dimiliki manusia itu adalah hal yang wajar sekaligus penting. Manakala rasa malu itu lenyap dari diri kita, maka tindakan menjadi tidak terkontrol. Sakibatnya seseorang tidak akan bisa bertindak selektif, sehingga apa yang menjadi keinginannya akan terus dijalankan.
Nilai-nilai dalam kehidupan manusia bersumber dari budaya yang berlaku di lingkungannya, sopan santun, hingga agama yang dipeluknya. Karena rasa malu itu lenyap, maka nilai-nilai itu akan terabaikan demi menuruti keinginannya. Perilakunya menjadi tidak berstandar, karena inginnya hanya melakukan apa saja yang menyenangkan untuk dirinya sendiri.
Itulah definisi rasa malu yang hilang dari seseorang. Rasanya hal itu sedang mendera cawapres boneka, yang hanya manut jalan sesepuhnya. Dia cukup menjadi tim hore, karena semua prosedur untuk bisa mendapatkan kedudukan sebagai cawapres sudah diatur bapaknya.
Dia hanya perlu mengawasi bagaimana perjalanannya menuju panggung demokrasi nanti. Namanya saja boneka, tidak bakal peduli bagaimana tindakan sesepuhnya yang bekerja sama menggolkan putusan agar si kandidat cawapres bisa maju tanpa melihat persyaratannya.
Hukum yang diotak-atik sama sekali menjadi hal yang tidak penting, disaat ada rakyat yang mengawasi tingkah mereka. Rakyat disuruh untuk taat patuh dengan konstitusi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi hal itu tidak berlaku bagi sang pemimpin yang sedang ingin menjunjung si anak menjadi penerusnya.
Alat negara yang harusnya menegakkan hukum demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, harus disingkirkan untuk mempertahankan kekuasaan. Saat rakyat menyoroti hal itu dan bereaksi dengan menerapkan proses hukum untuk memperjuangkan konstitusi negara, satu gembong akhirnya bisa tertangkap.
Walau ada kejadian-kejadian yang mendramatisir, tapi si maling akhirnya dijatuhi sanksi yang setimpal. Lalu si anak yang sudah duduk nyaman di kursi kebesaran cawapres, tidak peduli karena kepentingannya sudah sampai. Dia hanya perlu kembali meneriakkan semangat kepada bapaknya, yang berperan besar memenangkannya dalam kontestasi pilpres nanti.
Sudah kubilang bukan, bahwa dia itu cawapres boneka. Dia hanya mengikuti arah dari bapaknya. Yang saat ini harus dilakukan adalah memerankan lakon sebagai jiwa muda, yang memperjuangkan haknya untuk ikut berkuasa di negeri ini.
Tidak perlu lagi memikirkan hal yang berat, karena visi-misi hingga program sudah tersusun rapi dengan membawa nama bapaknya sebagai pemimpin negeri ini. Ada bekal juga dari seniornya kemarin, yang akan dimainkan dengan baik.
Entah cara kepemimpinannya, cara berpolitik sampai tindak-tanduknya. Ststst, tapi jangan bilang-bilang itu rahasia, walau sekarang sudah memiliki buntut jadi rahasia umum. Alat negara lain mulai dikerahkan si bapak untuk menggalang suara dan mengamankan kemenangan dari sekarang.
Jangankan hukum yang tadi dikangkangi, kawan dekat yang dulu membantu perjuangan mereka saja diabaikan, bahasanya “Emang Gue Pikirin”. Karena mereka sudah menjadi lawan.
Permintaan kawan yang sudah dianggapnya jadi musuh itu, hanya agar mereka melakukan persaingan yang sehat. Akankah harapan itu bisa terwujud? Sangat sulit untuk mewujudkannya, karena si bapak sudah nyaman dengan pergerakannya. Dia sudah dalam posisi enak menjadi produser dan sutradara dari drama yang dimulainya.
Si anak masih tenang, karena dia tahu bapaknya sudah menggarap skenario yang cantik untuknya. Di saat warganet yang menyoroti tingkahnya bertanya, apa dia masih punya rasa malu karena kedudukannya sebagai cawapres lahir dari rahim pelanggaran konstitusi. Dia hanya akan menjawab “biasa aja tuh”.
Raut mukanya tetap memancarkan kesenangan, karena dia berhasil sampai titik cawapres. Apa tadi pertanyaan warganet…, malu? Itu hanya untuk orang-orang yang bapaknya bukan presiden dan tidak punya paman Gober yang baik hati padanya.