Thursday, 07 Dec 2023
Temukan Kami di :
Opini

Sunardian Wirudono : Jokowi dan Permainan Tepi Jurangnya

Indah Pratiwi - 18/10/2023 20:27

FOKUS : Jokowi

Beritacenter.COM - Pada tahun terakhir pemerintahannya, dengan approval rating yang fenomenal –tertinggi di antara para pemimpin dunia, Jokowi berada di tepi jurang.

Dalam pepatah Jawa, ada istilah ‘kesandung ing rata kebentus ing awang-awang’. Absurd, tetapi begitulah kehidupan. Banyak hal tak kita ketahui, kenapa begini kenapa begitu. Kita bisa tersandung di jalanan rata. Juga bisa kejedot kepala kita di ruang hampa awang-awang.

Maka, apalagi mereka yang suka bemain di tepi jurang, jarang yang tak terperosok. Bahkan bagi mereka yang ahli bermain tepi jurang, yang sukses selalu dengan permainannya, belum pernah sekalipun kepleset atau kecemplung. Satu kali sial, meski hanya 0,0001 persen nilai keapesannya, yang namanya terpeselet tetaplah akan mengantarkannya ke jurang.

Success-story Jokowi, yang bukan hanya dari 2014-2019, melainkan 12 tahun sebelumnya dalam 2 kali periode walikota dan separoh periode gubernur, akan ditentukan dalam beberapa hari ini. Apakah sang fenomenon ini ternyata sama dan sebangun dengan para politikus ecek-ecek kita?

Saya suka menyebut Jokowi sebagai anak bajang dalam kepolitikan Indonesia. Dan ia bukan hanya secara simbolik mengalahkan soehartoisme dalam suprastuktur politik dan pemerintahan. Namun permainan zig-zagnya, dalam istilah para Gen-Z mainan tepi jurang, seolah menunggu waktu kapan jatuhnya.

Jokowi bukan hanya capaian prestasi yang bisa diunggulkan. Tetapi cara pandang dan mekanisme eksekusinya otentik. Out of the box. Banyak perubahan mendasar dilakukan. Perlahan ia bisa mengubah faham soehartoisme. Meski di kawasan legislatif dalam sistem politik, dan kawasan judikatif dalam penegakan hukum, ia sama sekali tidak kuwawa. Tak mampu menjangkau.

Itu ranah para politikus, wa bil khusus para ketua umum partai, yang paska Reformasi ’98 justeru menjadi sumber persoalan. Reformasi tanpa perubahan paradigma. Apalagi, senyampang itu, jalan Ninja Jokowi dengan barisan relawannya, justru menjadi rantai emas yang kini menjebaknya.

Apa yang terjadi dalam beberapa hari ini, menunjukkan gejala itu. Seperti adagium lawas; Caci-maki barangkali bisa diterima seorang manusia yang kuat. Namun ujian kekuatan manusia bisa jadi berbeda melalui puja-puji.

Dalam puncak approval rating, di atas 80 persen, merupakan jebakan tersendiri bagi Jokowi. Dalam Mukernas 4 PDIP beberapa waktu sebelumnya, jelas posisi Jokowi. Ia mendukung gagasan partainya. Dan percaya Ganjar Pranowo mampu mengujudkan. Dukungan dan dorongan Jokowi pada PDIP valid.

Namun senyampang itu, ada perihal lain tak kalah krusial. Dengan tingkat kesukaan publik yang tinggi, nama dan posisi Jokowi menjadi sumber masalah baru. Membuat Jokowi tergerak dalam arus permainan. Bersamaan itu, mengamati cara berkomunikasi anak-anak Jokowi, seperti Gibran dan Kaesang, memunculkan dua dugaan: Mengenai anak yang tak memahami peta pesoalan, atau sebaliknya, justeru menikmati itu semua untuk keuntungannya. Bayangkan, dalam waktu singkat, Gibran dan Kaesang bisa melejit jauh melampaui Puan Maharani dan AHY.

Seperti gonjang-ganjing penentuan bacawapres bagi Prabowo, apa hubungannya dengan menunggu keputusann MK, soal batasan usia capres-cawapres, yang bakal diumumkan keputusannya (pada 16 Oktober 2023) lusa. Apa relevansinya? Jokowi yang pernah jumawa soal ia bisa mendapat akses informasi A1 dari berbagai sumber intelijennya, mustahil tidak tahu apa hasl keputusan MK. Apalagi ketua MK, adalah adik iparnya, yang kepada media sudah menyatakan beberapa hari lalu, keputusan MK sudah diambil, tapi pengumuman ke publik baru akan disampaikan kemudian.

Padal, berkaitan keputusan MK kita juga belum tahu, apakah A atau bukan A. Bagaimana kalau bukan A? Kalau sudah pada tahu, padal belum diumumkan, bijimana bisa? Siapa yang main? Lagian apa kaitannya dengan masing-masing anggota koalisi KIM, yang ngotot dalam hal jagoan bacawapres masing-masing?

Publik dengan enteng menduga, dengan melihat timeline-nya, isu usia itu dimainkan oleh kubu Prabowo, diamini Jokowi, diarepin Gibran. Apalagi jika KIM mengalami deadlock dalam penentuan bacawapres Prabowo. Hal itu hanya bisa dipecahkan dengan unsur dominan dalam koalisi itu, yakni Jokowi Effect yang selama ini menjadi tumpuan electoral threshold mereka. Gibran adalah solusinya, daripada pecah koalisi.

Skenario itu tambah matang, ketika Jokowi sendiri tampak tergoda dengan pemainan tepi jurangnya. Apalagi dukungan pada Ganjar untuk partainya, semula tidak sangat mulus. Jika tidak, ngapain juga Jokowi turun langsung sebagai dirigen? Bikin pertemuan relawan, sejak dari Alap-alap, Samawi, Projo –yang ini bakal dihadiri semua ketum partai dalam KIM. Jika bukan perintah Jokowi, bisa dipastikan karena para ketum ngarep Jokowi effect.

Kita lihat nanti, apakah ketum PDIP diundang oleh Prodjo? Kurang-ajar banget relawan ngundang ketum parpol. Itu pun, jika diundang, apakah datang atau tidak? Itu semua menguatkan indikasi, bahwa Jokowi memang bermain mata. Sebagai kader atau petugas partai PDIP, Jokowi ingin menunjukkan pembelotannya. Dengan memilih bersama Prabowo, daripada bersama Ganjar Pranowo dan PDIP.

Kenapa bisa begitu? Tak ada asap tanpa api. Bisa juga tak ada api tanpa asap. Apalagi dalam politik yang penuh intrik dan gimmick. Sistem politik Indonesia yang elitis, adalah juga bagian ekosistem yang buruk dalam semesta demokrasi kita. Dari soal sistem, aturan, undang-undang, hingga output sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil.

Indonesia bukan saja menganut sistem demokrasi liberal, melainkan liar, tanpa disiplin dan dan tanpa penghargaan pada segala azas yang sudah disepakati bersama. Salah satu manifestasinya, perilaku korup di segala lini. Disitu nyata, tak ada kedaulatan rakyat, kecuali hanya jadi hiasan bibir-bibir mereka belaka.

Jokowi telah menorehkan sejarah penting dalam perkembangan Indonesia. Tetapi ia bisa masuk jurang kenistaan politik, ketika terpeleset pragmatisme politik dalam suksesi kepemimpinannya kali ini. Baik ketika dalam kemenangan atau pun kekalahan kontestasi, akibatnya sama saja. Dan ia tidak sendirian, karena menyertakan anak-anaknya dalam permainan tepi jurang ini.

Apakah mereka akan mempertaruhkan reputasi yang telah diraih? Seyogyanya kita tidak tergesa menghakimi, sebelum Jokowi sendiri menghakimi nasibnya. Lagian, sekali lagi, belum ada yang tahu apa keputusan MK, kecuali mereka yang punya hotline dan berlaku curang dengan memain-mainkan undang-undang. Belum juga tahu apa Gibran mau jadi cawapresnya Prabowo atau tidak. Tidak juga tahu apakah Jokowi lagi main sinetron atau main lenong.

Namun sebelum semuanya terjadi, Andika Perkasa, mantan Dan Paspampres Presiden Jokowi, yang kini adalah Wakil Ketua TPN Ganjar for President, sudah berani menyatakan: “Kami tidak takut kalau Pak Jokowi mendukung yang lain.”

Itu penanda degradasi atas Jokowi sudah dimulai, atas bivalensi jalan politiknya.

Lupakah, abaikah, lengahkah, atau tegakah Jokowi? Sejarah akan mencatatnya, bahkan jauh setelah 2045 yang dicita-citakannya sebagai Indonesia Emas. |

Sumber : Status facebook Sunardian Wirodono III




Berita Lainnya

Ikrar Nusa Bakti : Negara Adalah Saya

03/11/2023 15:15 - Indah Pratiwi

Ganjar Versus Korupsi

28/09/2023 07:42 - Indah Pratiwi

MENGKRITISI KETELEDORAN JOKOWI

27/09/2023 11:05 - Rahman Hasibuan
Kemukakan Pendapat


BOLA