Beritacenter.COM - Apa kesamaan Agus Harimurti Yudhoyono dan Gibran Rakabuming Raka? Hanya satu, sama-sama anaknya presiden RI. Sama kondisinya, tapi beda jauh latar belakangnya. Kalo AHY lahir dengan sendok perak di mulutnya, Gibran lahir dari keluarga kecil yang kala itu ayahnya masih jadi karyawan di CV milik saudaranya.
Secara garis besar, memang usia Agus ini lebih tua dari Gibran. Tapi soal kontribusi buat negara, Gibran lebih banyak. Jangan ada yang protes, karena cerita ini kurunut mulai dari terjunnya dia di bidang militer.
Ya, prestasinya memang luar biasa, pendidikannya pun bisa mengalahkan seorang Gibran. Tapi tidak dengan apa yang dia lakukan selama ini. Apalgi pasca banting setirnya dia di dunia politik dengan meninggalkan dunia militernya.
Bukannya memulai karir politiknya dari nol, AHY langsung tancap gas mengikuti pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Memasuki tahun politik ini, dia didorong mati-matian oleh sang ayah dan partainya untuk maju sebagai cawapres dalam kontestasi pilpres 2024. Bukannya menunjukkan kemampuannya, AHY justru semakin brutal dan awut-awutan mengkritik pemerintahan Jokowi.
Mending kalau kritiknya tepat dan membawa data yang benar, tapi AHY tidak memiliki kecakapan sekalipun dalam mengkritiki pemerintah. Gaya pidatonya selalu mudah ditebak, dengan intro “Indonesia sedang tidak baik-baik saja….”.
Beda jauh dengan seorang Gibran. Ia bisa mengambil keputusan sesuai kadar kemampuannya dalam dunia politik. Bermula menjadi seorang pengusaha, tidak kemudian membuatnya haus kekuasaan dengan mencalonkan diri pada posisi teratas.
Ia memulai jalan politiknya lewat posisi ayahnya dulu, menjadi seorang wali kota Solo. Tidak seperti AHY yang mengadopsi gaya ayahnya dalam memimpin, Gibran punya cara beda dari ayahnya.
Sikap aslinya yang cuek nyatanya juga masih bersarang indah dalam dirinya selama memimpin Solo. Tapi jangan salah, kecuekannya tadi hanya diaktifkan saat orang seperti AHY berkoar-koar saja kok. Untuk urusan warganya, dia ada di garda terdepan melayani sepenuh hati.
Tidak seperti ayahnya yang gemar melakukan aksi blusukan hingga saat ini, Gibran lebih suka memimpin dengan gaya milenialnya. Dia memiliki inovasi dalam menciptakan pembaharuan di Solo. Dengan memajukan kelas UMKM, Solo dijadikan sebagai pusatnya event besar sekaligus role model dari gaya milenial.
Seni dan budaya yang ada terus ia kembangkan, dengan menyisipkan dalam setiap event yang terselenggara di Solo. Terbukti dengan pergerakan Gibran ini, pertumbuhan ekonomi Solo yang awalnya minus 1,74% menjadi tumbuh sebanyak 6,25%.
Kepintaran AHY rasanya mati jika disandingkan dengan Gibran. Sulung dari Jokowi itu tak pernah membawa nama ayahnya selama memimpin Solo, ya sebatas presiden yang harus dipatuhi dan ditaati.
Fokusnya hanya satu, membawa Solo maju bersamanya. Jangan salah, banyak makian dan cemohan kerap juga mengahampirinya, tapi dia tak mencari tameng pembenaran. Ikhlas menerimanya saja, karena itu bagian dari dinamika selama memimpin.
Kebaikannya inilah yang dimanfaatkan orang sebagai alat untuk meraih perhatian sekaligus suara rakyat Indonesia. Seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh capres dari Gerindra, Prabowo Subianto. Hanya karena mengajak Gibran melipir makan malam, nama anak pertama Jokowi itu dijadikan objek dukungan suara dalam kontestasi pilpres mendatang.
Tidak seperti AHY si anak pepo tadi yang beringas terhadap kekuasaan, Gibran memulai semuanya dari nol, seperti ayahnya. Hanya startnya yang dia contoh dari sang ayah, bukan gaya kepemimpinan, apalagi gaya pidatonya.
Kondisi negara memang tidak selalu baik-baik saja, dari situlah negara ini butuh kontribusi dari anak-anak bangsanya. Bukan yang berkoar-koar menjatuhkan pemimpinnya dan membanggakan masa lalu ayahnya. Tapi yang mau membangun negara dan membangkitkan semangat, untuk membawa negara keluar dari zona nyamannya, menuju kemajuan.