Saturday, 30 Sep 2023
Temukan Kami di :
Opini

Bukankah Sebaiknya Prabowo-Ganjar Bersatu?

Indah Pratiwi - 26/05/2023 02:42 Oleh: Pepih Nugraha

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, sepertinya pepatah lama ini masih relevan dengan semangat memenangkan sebuah kontestasi atau pertarungan. Akan tetapi, menyatukan elite politik atau penyatuan partai politik tidaklah semudah mengatakan pepatah itu. Sekarang sulitnya ibarat memasukkan benang ke dalam lubang jarum di keremangan.


Lihat saja tarik ulur di koalisi partai yang sesungguhnya belum ada satu koalisi pun yang benar-benar “firm”. Nasib Koalisi Perubahan yang diisi Nasdem, Demokrat dan PKS belum pasti. Dengan terlilit kasus korupsinya Johnny G. Plate yang merupakan elite partai Nasdem, tidak ada jaminan Demokrat dan PKS untuk berbetah-betah “ngadem” di dalam koalisi tersebut. Tentu kedua partai ini tidak ingin terimbas stigma “pendukung” koruptor yang dilakukan oleh kader Nasdem sebagai sesama anggota koalisi.

Di media terbaca pembelaan verbal baik yang disampaikan elite Demokrat maupun PKS, keduanya sama-sama membela Nasdem tentu saja di saat Johnny G. Plate ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.

Akan tetapi, kedua partai itu akan tetap hati-hati dalam menyampaikan pembelaan, salah-salah mereka dijadikan sasaran antipati publik yang antikorupsi, yang berakibat pada popularitas dan elektabilitas partai. Atas kasus yang menimpa Johnny G. Plate, bisa saja kedua partai politik itu berpikir ulang untuk teras bersama-sama Nasdem dalam satu perahu koalisi; meneruskan atau menarik diri. Jika salah satu “mrotol”, terhenti jugalah jalan Anies Baswedan dalam upayanya menuju Istana.


Indikasinya terlihat dari pernyataan elit politik Demokrat yang mengatakan bahwa pihaknya akan berpikir ulang tentang keberadaan mereka di Koalisi Perubahan dengan alasan cawapres dari Anies Baswedan yang diusung Nasdem tidak kunjung diumumkan, sedangkan salah satu kader Nasdem terlilit kasus korupsi. Demokrat menentukan batas waktu sampai Juni 2024 ini.

Koalisi Indonesia Bersatu yang merupakan “koalisi pelangi” karena diisi Golkar (kuning), PAN (biru) dan PPP (hijau), juga diambang perpecahan setelah PPP mendukung Ganjar Pranowo yang sudah diusung PDIP sebagai capres. Satu kaki hengkang, rubuh sudah bangunan koalisi. Maka tidak heran Airlangga Hartarto selaku ketua umum Golkar mencoba merapat ke “Koalisi Besar” di mana sudah ada Gerindra dan PKB, juga kemungkinan PAN.

Pada kedua koalisi tersebut, persoalannya hampir sama; sulitnya menentukan cawapres bagi masing-masing capres. Termasuk juga menentukan siapa wakil untuk Ganjar meskipun PDIP belum berkoalisi dan rencananya masuk ke koalisi besar juga.


Di Koalisi Perubahan, sampai sekarang Anies belum menentukan cawapres bagi dirinya meski sudah diberi mandat. Memilih Agus Harimurti Yudhoyono atau Ahmad Heryawan tentu juga sulit mengingat salah satu anggota koalisi itu harus mengalah. Sulit untuk mengalah, sebab masing-maisng partai ingin mendapat pengaruh efek ekor jas.

Di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya Muhaimin Iskandar demikian berharap menjadi cawapres bagi Prabowo, tetapi Prabowo masih berhitung dengan cermat manfaat dan mudaratnya. Alhasil, Prabowo juga belum mengumumkan siapa wakilnya. Muhaimin masih “digantung” tetapi percaya diri dialah yang harus menjadi cawapres Prabowo.

Secara matematis, PDIP bisa berjalan sendiri tanpa berkoalisi jika deal dengan koalisi besar tidak terjadi, tetapi itu berat. Sendirian di kancah Pilpres yang kompetitif sungguh sulit untuk meraih kemenangan. Apalagi partai yang dikomandoi Megawati Soekarnoputri ini punya beban berat harus mempertahankan kekuasaannya.

Ganjar meski di awal merajai elektabilitas berbagai lembaga riset, tetapi belakangan elektabilitasnya tersalip oleh Prabowo sehingga menjadi berada di posisi kedua. Penurunan elektabilitas Ganjar sebagaimana yang diungkapkan beberapa lembaga riset antara lain karena dianggap mementahkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang dirintis oleh Presiden Joko Widodo. Kekecewaan Joko Widodo berimbas pada penurunan elektabilitas Ganjar karena tidak dapat dipungkiri pendukung Jokowi masih sangat masif.

Penurunan elektabilitas Ganjar lainnya, menurut lembaga riset tersebut, juga masih disebutnya nomenklatur “petugas partai” bagi Ganjar oleh ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri, sehingga dikesankan bahwa kepemimpinan Ganjar itu lemah, tidak punya sikap tegas karena tergantung kepada “Ibu”.

Alhasil dengan impresi semacam itu Prabowolah yang kemudian diuntungkan karena terbukti dia bisa menyalip elektabilitas Ganjar yang biasanya selalu berada di atas, selain juga ada kesan yang sulit disembunyikan bahwa Joko Widodo lebih mendorong (endorse) Prabowo daripada Ganjar pranowo. Tentu saja Presiden Joko Widodo akan berkilah bahwa dia tegak lurus kepada kehendak partai mengingat Jokowi adalah kader PDIP, meski juga punya sikap independen selaku Presiden bagi rakyat seluruh Indonesia, bukan hanya rakyat pendukung PDIP.


Belakangan, rivalitas antara Prabowo dengan Ganjar muncul ke permukaan, sesuatu yang melemahkan keduanya alih-alih memperkuat mereka jika bersatu. Penyatuan menjadikan varian Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo lebih memungkinkan. Itulah barangkali yang dikehendaki Presiden Joko Widodo alih-alih keduanya saling berseteru. Akan tetapi jika rivalitas sampai pada gontok-gontokan menajam, yang senyam-senyum simpul tentu saja Anies Baswedan. Dia malah menang sebelum berperang.

Sesungguhnya, rivalitas menjurus persaingan sengit antara PDIP dan Gerindra hanya akan mengulang persaingan Prabowo-Megawati di dua Pilpres sebelumnya. Dalam kedua kontestasi Pilpres itu Megawati dengan PDIP-nya unggul atas saingannya yaitu, Prabowo dengan Gerindra-nya. Alangkah meruginya jika persaingan itu terus berlanjut sampai pada pilpres 2024, padahal Joko Widodo sebagai presiden telah mengajak Prabowo bergabung di dalam kabinetnya atau di dalam pemerintahannya, yang berarti kerjasama lebih mengemuka daripada persaingan.

Yang harus diperhatikan oleh Megawati dan PDIP adalah “rezim dua putaran” yang hampir dipastikan akan ditempuh jika terdapat lebih dari dua pasangan capres-cawapres. Dengan komposisi seperti sekarang ini mustahil memenangkan putaran pertama dengan suara 50%+1. Artinya harus ada pasangan capres-cawapres yang kalah di putaran pertama. Nah, pasangan capres-cawapres yang kalah di putaran pertama itulah yang justru akan menentukan pemenang Pilpres 2024.

Bagi PDIP dengan Ganjar sebagai capresnya benar-benar berada dalam posisi bahaya siapapun pasangan capres-cawapres yang kalah itu. Mengapa demikian? Karena pasangan capres-cawapres yang kalah di putaran pertama hampir pasti akan melimpahkan suaranya kepada lawan dari Ganjar atau PDIP.

Taruhlah jika Anies Baswedan kalah di putaran pertama sementara yang bertarung di putaran kedua adalah Prabowo versus Ganjar. Sulit membayangkan Koalisi Perubahan yang mengusung Anies akan melimpahkan suaranya kepada Ganjar. Secara politis dan historis, Koalisi Perubahan (Nasdem, Demokrat, PKS) lebih dekat atau katakanlah “lebih tidak ada masalah/permusuhan dengan Prabowo dibanding Megawati” dan secara otomatis melimpahkan suaranya kepada Prabowo di putaran kedua.


Katakanlah yang masuk ke putaran kedua itu adalah Ganjar dan Anies, maka lagi-lagi karena alasan politis dan historis pulalah -dalam hal ini beberapa kali Prabowo dikecewakan oleh Megawati- bisa saja ada deal-deal tertentu atas nama pembagian kekuasaan Prabowo akan melimpahkan suaranya kepada Anies di putaran kedua. Ini lebih masuk akal dibanding melimpahkan suaranya ke Ganjar yang yang saat ini rivalitas keduanya dipelihara dan bahkan terus menajam.

Jelas ini posisi sulit dan dilematis bagi PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Jika ingin memperpanjang kekuasaannya atau tetap menjadi “the ruling party”, mau tidak mau kali ini PDIP harus berbagi kekuasaan dengan Gerindra. Caranya? Yaitu dengan menetapkan dan mengusung kombinasi pasangan capres-cawapres Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo dalam kontestasi Pilpres 24 ini. Menjadikan atau menempatkan Prabowo sebagai rival/musuh adalah kesalahan fatal dan merupakan kekeliruan besar PDIP.

Tantangannya hanya pada ego masing-masing ketua umum partai saja untuk menentukan siapa yang pantas menjadi capres atau cawapresnya. Perlu menurunkan ego dan tensi pribadi masing-masing ketua umum (Prabowo dan Megawati) untuk meraih kemenangan yang lebih besar, yaitu kekuasaan. Melihat elektabilitas, pengalaman, dan ketegasan yang dimiliki Prabowo sebagai seorang pemimpin dibanding Ganjar, kali ini PDIP lah yang harus menurunkan ego dan tensi politiknya itu.

Dengan bersatunya PDIP-Gerindra, maka apa yang disebut Koalisi Besar itu akan menjadi kenyataan.

(Sumber: Facebook Pepih N)




Berita Lainnya

Ganjar Versus Korupsi

28/09/2023 07:42 - Indah Pratiwi

MENGKRITISI KETELEDORAN JOKOWI

27/09/2023 11:05 - Rahman Hasibuan

Ganjar Versus Korupsi

21/09/2023 19:05 - Indah Pratiwi

Apa yang Bisa Dibanggakan dari Prabowo?

13/08/2023 13:41 - Indah Pratiwi

Menjijikkannya Rocky Gerung

09/08/2023 21:36 - Indah Pratiwi

Erizeli Bandaro : Kepemimpinan yang Kuat

01/08/2023 16:00 - Indah Pratiwi
Kemukakan Pendapat


BOLA