Beritacenter.COM - Laporan PBB yang terbit pada Rabu (23/11), mengungkap setidaknya ada 45 ribu perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia yang dibunuh oleh pasangannya atau anggota keluarga mereka pada tahun 2021.
Berdasarkan data Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan UN Women yang menerbitkan laporan itu menyebut angka ini berarti ada lebih dari lima perempuan atau akan perempuan yang dibunuh oleh seseorang ataupun keluarganya disetiap jamnya.
Baca juga :
"Meskipun temuan terkait femisida ini "sangat tinggi', angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi," kata laporan itu menekankan.
"Dari semua perempuan dan anak perempuan yang sengaja dibunuh tahun lalu, sekitar 56% dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarganya yang lain… menunjukkan bahwa rumah bukanlah tempat yang aman bagi banyak perempuan dan anak perempuan," lanjut laporan tersebut.
Laporan ini tak menampik jika secara keseluruhan pihak laki-laki dan anak laki-laki juga jauh lebih mungkin untuk dibunuh, dimana angkanya mencapai 81% dari seluruh korban. Kendati begitu, perempuan dan anak perempuan menjadi kelompok yang sangat terdampak dengan kekerasan berbasis gender di rumah mereka sendiri.
Jumlah femisida tertinggi pada 2021 sebagaimana laporan PBB tercatat berada di Asia, dengan perkirakan jumlah korban mencapai 17.800. Kemudian Afrika menjadi yang kedua dnegan jumlah korban mencapai 17.200 orang.
"Bukti yang ada menunjukkan bahwa kemajuan dalam mencegah pembunuhan berbasis gender atas perempuan dan anak perempuan terlalu sedikit," kata pernyataan dari PBB.
Sebagaimana dalam laporan itu, disebutkan pembunuhan perempuan dan anak perempuan oleh keluarganya di Eropa telah berkurang sebanyak 19% dalam satu dekade terakhir. Lalu, di Amerika juga terpantau mengalami penurunan rata-rata 6% di periode yang sama.
Adanya penerapan lockdown COVID-19 kemungkinan besar turut menjadi faktor penyebab tahun 2020 menjadi sangat mematikan bagi perempuan dan anak perempuan di Amerika Utara. Dimana laporan itu mencatat, bahwa femisida yang terjadi di awal pandemi lebih besar jika dibandingkan tahun manapun sejak 2015.
Sementara untuk Asia, Afrika dan Oseania, PBB mengaku tak dapat menggambarkan tren-nya dari waktu ke waktu, lantaran kuirangnya data.
"Dengan memastikan setiap korban dihitung, kami dapat memastikan bahwa pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban dan keadilan bisa ditegakkan," kata kantor PBB tersebut.
Guna mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender, PBB mendesak adanya komitmen politik dari negara-negara, termasuk membuat kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, berinvestasi pada organisasi hak-hak perempuan dan mengalokasikan sumber daya yang cukup sebagai upaya pencegahan.