Selama aku jadi dosen, aku pernah beberapa kali dimintai tolong untuk memasukkan beberapa orang anak ke universitas tempat aku bekerja. Yang minta tolong itu beberapa kerabat jauh dari bapakku. Rata-rata mereka adalah petani kaya dari desa-desa sekitar desa kelahiran bapakku.
Biasanya mereka sudah tahu kalau aku sudah jadi dosen di universitas nganu jadi beberapa bulan sebelum sbmptn mereka ngomong ke bapakku. Minta dikenalkan gitu. Trus setelah mereka menyiapkan uang beberapa puluh juta rupiah mereka minta bapakku menelpon aku. Trus bapakku menelpon. Setelah bapak tanya kabarku, bapakku bilang bahwa ada kerabat namanya si x yang mau minta tolong “nggak tahu dia mau minta tolong apa, bapak nggak ngerti. biar dia sendiri yang ngomong ke kamu, kalau kamu bisa bantu ya tolong dibantu ….. “
Si kerabat itu biasanya bilang kalau anaknya sudah lulus sma atau madrasah dan mau kuliah di fakultas tertentu. Dia bilang minta dibantu sampai bisa lolos kuliah disitu. Tahu beres lah pokoknya. Dan ….. ini yang paling ngeselin ….. dia sudah siap sekian puluh juta (angka yg paling sedikit yang aku dengar di tahun 2002 – 2008 adalah 70 juta rupiah) untuk biaya memasukkan anaknya sampai lolos kuliah disitu. Untuk aku nanti ada sendiri bagiannya.
Aku tidak kaget dengan permintaan bantuan dari para kerabat itu karena sejak kecil aku bergaul dengan mereka aku sudah dengar bahwa mereka bisa memasukkan anak-anaknya jadi tentara (level tamtama), polisi, sekolah perawat, jadi pns dan bahkan masuk pesantren pun dengan cara menyogok puluhan hingga ratusan juta rupiah. Itu pembicaraan biasa di desa kami. Jadi mereka berkeyakinan bisa mengulangi modus yang sama kepadaku, beranggapan bahwa aku bisa menjadi “jalan” bagi uang dan anak mereka masuk ke universitas.
Sebaliknya saat itu aku terus terang jadi marah karena aku niatan kerja di universitas itu jadi dosen, jadi guru, bukan jadi makelar bangku kuliah. Aku merasa aku tidak seburuk itu. Aku juga mengingat bahwa aku yang tidak dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan, bisa kok kuliah di universitas bagus tanpa dibantu sogokan seperti mereka. Jadi kenapa mereka yang punya duit puluhan juta malah main sogokan, pikirku.
Aku tidak memungkiri bahwa aku tahu kok jalan masuk ke universitas pakai uang sogokan, lewat pejabat siapa, duitnya berapa banyak dan sebagainya. Aku juga tahu bahwa selama perguruan tinggi diberikan wewenang untuk menyeleksi mahasiswanya sendiri, maka potensi penyelewengannya besar banget. Tahu sama tahu lah. Tapi aku kok tidak ingin ikut-ikutan.
Secara ekonomi, rumahku sangat mungil saat itu. Kami belum punya mobil dan punya dua motor yamaha jupiter dan yamaha vega. Tapi kami merasa cukup. Kami baik-baik saja hidup mandiri dan sederhana.
Tapi karena mereka yang menelepon itu kerabat yang lebih tua, ya aku jawab dengan sopan: “daripada uang sebanyak itu buat nyogok, mending duit itu buat anaknya setahun ikutan bimbingan belajar di malang. Nanti saya bantu carikan bimbel yang bagus, pasti bisa masuk kuliah jadi mahasiswa di universitas bagus. Bla …. bla …..bla …. atau bagaimana kalau uangnya dijadikan modal ternak ayam broiler? Atau dagang baju daster dari jogja? Bagaimana? O mau diomongkan dulu sama anaknya? Baik. Nanti kalau setuju dan mau minta tolong saya, telepon saya saja.”
Dari sekian banyak kerabatku yang minta tolong seperti itu, tidak ada satupun yang balik menelpon. Mungkin mereka kesel karena mereka yang kaya ditolak sama dosen miskin. Mungkin mereka bisa menemukan makelar yang lebih tokcer daripada aku. Mungkin mereka sudah menikahkan anaknya biar gak ngrepoti lebih lama dengan jadi mahasiswa. Mungkin mereka memasukkan anak-anaknya ke kampus ecek-ecek yang gak ngotak pun bisa wisuda. Biar saja. Gak ngurus.
Sumber : Status Facebook Ary Sudiargo